Kail itu, sudah seharusnya jangan diangkat dulu sebelum ada hasilnya
Pagi benar, di kawasan elite Kelapa Gading, Hartini, 56 tahun, sudah terlihat sibuk memosisikan gerobak berukuran 2×1 meter. Kemudian, dengan ditemani cucunya, Eni, Ia terlihat membuka kosen depan gerobaknya hingga bisa terlihat dari jarak tertentu sejumlah produk mulai dari rokok berbagai merek, permen segala jenis hingga tisu. Wanita paruh baya ini melayani sejumlah pembeli dengan gesitnya.[….]
Ibu tujuh anak yang menagku sudah ditinggal suami tercintanya kurang-lebih 3 tahun inipun, menceritakan jalan singkat hidupnya. Dalam perbincangan itu, ada yang menarik disimak bahwa, selama ini, sejak digulirnya program penanggulangan kemiskinan, mulai TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), JPS (Jaring Pengaman Sosial) hingga BLT (Bantuan Langsung Tunai) keluarganya belum tersentuh langsung. Satu-satunya program pernah dikecapinya hanya fasilitas Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima cucunya, yang menjadi tanggungannya dalam bersekolah.
Hartini tentu tidak sendirian. Sebab, dari beberapa temuan di lapangan, masih banyak warga yang sebenarnya pantas menerima bantuan dari program-program pemerintah, terlewatkan –sering dilewatkan– hanya disebabkan ketiadaan informasi atau karena kurang terkatupnya tangan mereka “bermohon” kepada pengerah pengentas kemiskinan di wilayahnya.
Fakta lain, dari evaluasi awal sebelum diundangkannya TNP2K, banyak ditemukan kendala yang membuat sejumlah warga yang seharusnya terlindungi di bawah program pemerintah dimaksud, tapi nyatanya belum terjamah. Pun dari segi regulasi, disadari, masih ada tumpang-tindih antardepartemen, antara pusat dan daerah untuk program mempercepat pengentasan kemiskinan.
Oleh karena itu, pasca keluarnya Keputusan Presiden No. 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan diharapkan para pihak yang terkait dengan upaya percepatan penanggulangan kemiskinan menjadi satu arah koordinasi. Sehingga, menjadi harapan pula, masyarakat yang masih tergolong miskin secepatnya boleh terangkat harkat keluarganya sebagai bagian anak Bangsa Indonesia.
Sekretaris Eksekutif TNP2K, Bambang Widianto dalam diskusi bersama Lembaga Penelitian SMERU memaparkan, jumlah orang miskin hingga Juli diperkirakan dari 32,53 juta orang atau 14,15 persen menurun menjadi 31,02 juta orang atau 13,33 persen. Pada tahun 2011 mendatang, jumlah kemiskinan diproyeksikan menurun persentasenya menjadi 11,5-12,5 persen.
Namun, Bambang berharap, tim terus memperdalam informasi yang dianggap tepat sebagai tools sehingga penduduk yang telah keluar dari kemiskinan tidak kembali miskin dan yang dikategorikan rentan akan menguat ekonomi keluarganya. Perkuat koordinasi.
Sebagaimana amanat Keppres, pada tingkat pusat, seluruh program pengentasan kemiskinan berada di bawah koordinasi Wakil Presiden RI, Boediono. Tentu diharapkan di tingkat daerah juga dilakukan hal yang sama. Koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi, harus dikedepankan agar tidak jalan sendiri-sendiri. Hindari tumpang-tindih kebijakan. Jangan sampai terjadi di satu daerah berpenduduk layak bantu malah luput dari program departemen manapun juga.
“Prioritas jangka pendek-menengah Sekretariat TNP2K selain unifikasi sistem penargetan nasioanl, menyempurnakan pelaksanaan bantuan sosial kesehatan untuk keluarga miskin, menyempurnakan pelaksanaan dan mem perluas cakupan program keluarga harapan serta integrasi program pemberdayaan masyarakat lainnya ke program nasional pemberdayaan mandiri (PNPM), ” jelas Bambang.
Ini etape awal. Diakui masih banyak “penyempurnaan” yang harus dibenahi agar percepatan penanggulangan kemiskinan bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Meski, tentunya tidak harus menunggu mana yang lebih dulu, telor atau ayam. Program penanggulangan sudah harus berjalan.
Sebagaimana tujuannya, pengentasan kemiskinan merupakan program prorakyat yang diharapkan secepatnya bisa meningkatkan kesejahteraan dan mempercepat penurunan angka kemiskinan dalam negeri. Hal ini sesuai ideologi dan konstitusi Bangsa yakni kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika memberikan sambutan pada pembukaan Rakernas Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka sosialisasi PNPM Mandiri Pedesaan Tahun Anggaran 2010, awal tahun ini, menegaskan komitmen pemerintahannya untuk mengangkat lebih tinggi hayat hidup warga Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan.
Kelayakan hidupnya harus ditingkatkan. “Kalau kita sungguh menghayati dan mengamalkan Pancasila, sila kelima dengan jelas mengatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitu pula di UUD 45, banyak terdapat pasal yang menyangkut kesejahteraan rakyat. Dari segi ideologi dan dasar negara serta konstitusi kita mendapatkan amanah untuk melaksanakan semua upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk progrom-program yang kita jalankan ini,” kata SBY mengingatkan.
Keadilan pembangunan manusia memang tidak boleh hanya menjadi retorika, tanpa implementasi. Pemerintah, diharapkan lebih bersungguh-sungguh mengimplementasikan apa yang kita anggap tepat dalam pembangunan nasional. Kail itu, sudah seharusnya jangan diangkat dulu sebelum ada hasilnya. Artinya, penanggulangan kemiskinan tidak semata sebagai program kepentingan atau program dadakan yang sering hanya berbuah sesaat.
Presiden meminta para pemangku kepentingan (TKPKD Propinsi/Kabupaten/Kota) untuk melihat dan mengajak dialog rumah tangga. Tidak hanya terpaku pada data statistik. Datang ke rumah tangga-rumah tangga untuk memastikan bahwa data itu, statistik itu, presentase dan angka-angka itu, benar-benar mereka rasakan dalam peningkatan kehidupan sehari-harinya.
Untuk program-program yang menyentuh langsung kesejahteraan rakyat, tidak keliru pemerintah melakukan intervensi. Bagi yang menganut pahan kapitalisme atau neoliberalisme memang pemerintah diharapkan tidak terlalu banyak terlibat. Serahkan saja pada mekanisme pasar dan ekonomi. Namun, Indonesia bukan penganut paham ini. Kalau pemerintah tidak boleh sama sekali ikut berperan, dikhawatirkan akan menimbulkan kesenjangan menganga antara yang kaya dan miskin.
Memastikan strategi ini bisa berjalan, para pemangku kepentingan bisa mengaplikasikan program-program TNP2K, juga pemimpin di daerah sungguh-sungguh mengalokasikan anggaran peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengurangan kemiskinan ini secara memadai pada APBD mereka.
Kemiskinan Sistemik
Kemiskinan tidak lagi seumur jagung. Kemiskinan telah menjajah dunia sejak peradaban berlangsung. Kemiskinan sudah berdampak sistemik sehingga harus dicari rancang-bangunnya agar mereka boleh keluar dari kondisi sebagai warga yang termajinal. Dalam kehidupan yang beragam kita memang telah diperhadapkan pada filosofi hidup yang diperbandingkan; antara yang kuat dan lemah; antara miskin dan kaya; kecil-besar, sebagai parameter logika.
Di Indonesia sendiri perjuangan meminimalisasi rakyat miskin –pengentasan kemiskinan—telah berjalan sejak tahun 60-an, melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang tertuang dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Namun program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis politik tahun 1965.
Sejak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program penanggulangan kemiskinan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), khususnya Repelita I-IV yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada Repelita V-VI, pemerintah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi.
Jalur pembangunan ditempuh secara khusus dan mensinergikan program reguler sektoral dan regional yang ada dalam koordinasi Inpres Nomor 3 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan yang akhirnya diwujudkan melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Upaya selama Repelita V-VI pun gagal akibat krisis ekonomi dan politik tahun 1997.
Selanjutnya guna mengatasi dampak krisis lebih buruk, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keppres Nomor 190 Tahun 1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial. Pelaksanaan berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan dan kendala pelaksanaannya selama 40 tahun terakhir meyakinkan pemerintah bahwa upaya penanggulangan kemiskinan dianggap belum mencapai harapan.
Melihat semakin urgennya permasalahan Kemiskinan di Indonesia, melalui Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 junto Nomor 34 dan Nomor 8 Tahun 2002 maka dibentuklah Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang berfungsi sebagai forum lintas pelaku dalam melakukan koordinasi perencanaan, pembinaan, pemantauan dan pelaporan seluruh upaya penanggulangan kemiskinan.
Untuk lebih mempertajam keberadaan Komite Penanggulangan Kemiskinan maka pada tanggal 10 September 2005 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Keberadaan TKPK diharapkan melanjutkan dan memantapkan hasil-hasil yang telah dicapai oleh KPK.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tugas dari TKPK adalah melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah NKRI melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan. Namun, sebegitu matang sejumlah kebijakan pemerintah dalam meminimalisasi kemiskinan penduduk bangsa ini, namun hasilnya belum juga diterima/terlihat manfaat positifnya merata di republik ini.
Program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilaksanakan antara lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), UEDSP (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), PPK (Program Pengembangan Kecamatan), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), PDMDKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi, P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), JPS (Jaringan Pengaman Sosial) dan program pembangunan sektoral telah berhasil memperkecil dampak krisis ekonomi dan mengurangi kemiskinan.
Program penanggulangan kemiskinan dilakukan juga oleh koordinasi Bank Indonesia melalui berbagai program keuangan mikro (microfinance) bersama bank-bank pembangunan daerah (BPD) dan bank-bank perkreditan rakyat (BPR) bekerja-sama dengan lembaga-lembaga keuangan milik masyarakat seperti Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan (LDKP) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Selain itu, beberapa lembaga keuangan milik pemerintah (Badan Usaha Milik Negara, BUMN) maupun milik swasta atas inisiatif sendiri menyelenggarakan pula program keuangan mikro dengan berbagai variasi dan kekhasan masing-masing lembaga keuangan itu. Demikian pula kalangan usaha nasional non-lembaga keuangan, baik milik pemerintah (BUMN) maupun bukan milik swasta telah mengambil inisiatif melakukan upaya penanggulangan kemiskinan melalui beragam program, mulai dari bantuan sosial hingga bantuan ekonomi.
Kini diera pemerintahan SBY yang begitu prorakyat dengan berbagai kebijakannya, bersama Wapres Budiono, lebih dikonkritkan lagi dengan mempertegas komitemen sebagaimana amanat UUD 45; mengundangkan percepatan penanggulangan kemiskinan yang disusul kemudian dengan pembentukan tim yang bertanggungg jawab di dalamnnya; Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Pembentukan tim yang diharapkan bisa mempercepat pengentasan kemiskinan dan diketuai Wakil Presiden Budiono ini, diharapkan dapat menjadi penyambung kebijakan prorakyat pemerintah sekaligus motivator di lapangan, sehingga benar-benar program yang lahir dari keprihatinan idiologi bisa berlangsung baik.
Minimal hasil penanggulangan kemiskinan lima tahun terakhir bisa lebih tercepatkan dengan berbagai modul yang terkoordinasi di TNP2K.
Sebagai gambaran, jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2008 berfluktuasi dari tahun ke tahun (Tabel 1, Gambar 1, dan Gambar 2). Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode yang sama.
Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.
Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 2,11 juta, sementara di daerah perkotaan bertambah 2,09 juta orang.
Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin selama Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin yang cukup signifikan nanti terlihat pada periode Maret 2007-Maret 2008, dari 37,17 juta (16,58 persen) pada tahun 2007 menjadi 34,96 juta (15,42 persen) pada tahun 2008.
Sementara jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta.
Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam dari pada daerah perkotaan. Selama periode Maret 2008-Maret 2009, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,57 juta orang, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,86 juta orang (Tabel 2).
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada periode Maret 2008 – Maret 2009, perubahan persentase penduduk miskin di perkotaan sebesar 0,93 persen, dan di perdesaan mencapai 0,58 persen.
Kemiskinan memang telah menjadi permasalahan bangsa yang kompleks sehingga mendesak untuk ditanggulangi. Kemiskinan tidak bisa didiamkan. Ia memerlukan penangan yang serius, cepat, tepat, dan terarah. Penanganannya diperlukan langkah konkrit yang sitematik, terpadu dan menyeluruh. Untuk itu, TNP2K seharusnya diposisikan pada garda depan karena fungsinya begitu stratergis.
Sisi lain, TNP2K yang secara eksplisit dalam kapasistasnya sebagai ingarso sungtulodo, i madia mangunkarso sekaligus tut wuri handayani dalam penanganan kemiskinan di Indonesia harus benar-benar kerja cepat, seimbang dengan lahirnya program-program unggulan yang menyertai keiningan pemerintah untuk mempercepat pengentasan kemiskinan di Indonesia. TNP2K adalah tools bangsa ini untuk mempercepat terjadinya perubahan dalam sosial kemasyarakatan keluarga miskin.
Wakil Presiden RI, Boediono menjelaskan harapan dan keinginannya mempercepat terentasnya warga tergolong miskin di Indonesia. Wapres Boediono yang sekaligus diberi tanggungjawab sebagai Ketua TNP2K berharap ada perbaikan untuk program-program pemberantasan kemiskinan. Ia juga meminta semua pemangku kepentingan agar jangan terlena saat menangulangi masalah kemiskinan di Indonesia.
Ketika meninjau serta meresmikan Sekretariat TNP2K yang berlokasi di Jalan Kebon Sirih No.35 Jakarta Pusat, Boediono menantang agar anggota Sekretariat TNP2K bekerja lebih keras lagi agar pencapaian penanggulangan kemiskinan bisa lebih cepat juga baik lagi. Beberapa indikator kemiskinan telah terlihat diantaranya krisis finansial secara global pada akhir 2008. “Meski tetap menunjukkan perbaikan, saya berharap ada perbaikan untuk program-program pemberantasan kemiskinan yang ada lebih nyata,” ujarnya.
Masalah penanggulangan kemiskininan memang bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jadi, jangan sampai kemiskinan meningkat. “Saya sangat mengapresiasi sejumlah Pemerintah Daerah yang sudah melibatkan swasta dalam program penanggulangan kemiskinan,” kata Boediono.
Ada beberapa daerah yang inisiatif melibatkan swasta, sudah bagus. “Nanti buat koordinasi lebih baik. Kalau swasta punya niat untuk inisiatif, maka kita harus fasilitasi, tidak hanya koordinasi,” tambah mantan Gubernur Bank Indonesia ini.
Boediono berharap ada kebijakan penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan tidak terbatas hanya lima tahun saja, tapi berkelanjutan hingga masalah kemiskinan bisa diatasi dan bisa dikurangi. Wapres juga meminta percepatan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa langkah, seperti, jaringan pengamanan sosial disempurnakan. Kedua, meningkatkan program-program pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, sanitasi dan air bersih kepada kelompok miskin dan dekat dengan miskin.
Sementara Sekretaris Eksekutif, Bambang Widianto dalam pengarannya ketika berlangsung diskusi terbatas bersama TNP2K dan SMERU, mengingatkan keseriusan tim untuk terus memberi masukan kepada pemerintah, terutama menyangkut percepatan pengentasan kemiskinan. Bambang mengatakan, banyak yang berhasil keluar dari kemiskinan namun tidak sedikit juga warga rentan terperosok dan akhirnya masuk lagi.
TNP2K mencatat hanya 1,5 juta orang yang berhasil keluar dari garis kemiskinan dalam kurun waktu setahun. Selama periode Maret 2009 hingga Maret 2010, TNP2K mencatat ada sebanyak 13,2 juta dari total 14,7 juta orang yang sebelumnya berada di atas garis kemiskinan.
Ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, berharap hasil kajian dari Sekretariat TNP2K dapat dijadikan kebijakan yang tepat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat serta menteri terkait lainnya.
Hasil kajian sekretariat itu diharapkan bisa menjadi rancangan untuk mengambil keputusan yang tepat. Oleh karena itu, kualitas datanya haru s tinggi dan bersifat mikro dan terarah sehingga bisa dijalankan. “Apabila data yang dikeluarkan sangat bagus, maka Presiden, Wapres dan Menko Kesra serta menteri lainnya bisa mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk tanggulangi kemiskinan,” ujar Kuntoro.
Menurut Kuntoro, masalah kemiskinan biasanya dibahas sangat luas dan bersifat makro seperti membahas target penurunan angka kemiskinan dari 13 persen menjadi 10-8 persen. “Akan tetapi, saat berbicara fokus dan konsentrasi masalahnya, kita seperti kehilangan pijakannya,” tambah Kuntoro.
1 comment
Bos ada softcopy-nya?
Nanti qta minta dia pe materi di MDO…jgn lupa..hehehaha