Gorontalo-CS, 28/3/17 (BENDERRA/SOLUSSI): Di Tanah Minahasa, ada komunitas yang dikenal dengan sapaan Orang Jawa Tondano, alias Jaton.
Para Jaton yang merupakan keturunan langsung dari Kiay Modjo dan Pangeran Diponegoro itu, telah hidup harmonis dengan Orang Minahasa (warga tempatan, Red) sejak 1830-an lalu.
Mereka benar-benar bersyukur, bisa ‘dibuang’ Belanda ke Tanah Minahasa yang menerimanya dengan sangat familiar. “Bayangkan, para nenek moyang kami datang tanpa satu pun perempuan. Tetapi, mereka diizinkan kawin dengan gadis-gadis Minahasa yang cantik-cantik. Saya tidak tahu nasib kami jika dibuang ke tempat lain, mungkin sudah musnah,” kata Ali Hardi Kiaydemak, salah satu sesepuh Jaton ketika berbicara di forum Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP).
Bagi Kiaydemak, gaya hidup Pancasila sesungguhnya sudah tumbuh di Tanah Minahasa sejak tempo dulu.
“Orang Minahasa yang Kristen, bisa menerima kami yang Muslim. Bahkan mengizinkan kami mendirikan tempat-tempat peribadatan. Kami hidup rukun dan harmonis dari waktu ke waktu. Dan akulturasi budaya itu tak cuma dari kawin-mawin dan saling menghormati keyakinan, tetapi juga dalam hal bahasa. Kami diajari bahasa Tondano atau Toulour, kami juga mengajar Orang Tondano dan Minahasa cara bercocok tanam padi sawah dan lain-lain,” demikian Ali Hardi Kiaydemak yang sangat fasih berbahasa Toulour dan juga Jawa.
Ajang silaturahmi
Sejak masa itu, para Jaton banyak pula menyebar ke Tomohon, Manado, juga di beberapa kawasan di luar Tanah Minahasa, seperti di Bolaang Mongondow (Kotamobagu dan sekitarnya), bahkan hingga ke Gorontalo.
Nah, kali ini, Festival Seni dan Budaya Jawa-Tondano (Fesbudjaton) ke XII tahun 2017 bakal digelar lagi di Yosonegoro, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
Ketua Panitia kegiatan tersebut, Syahril Djaafara, Kamis mengatakan, Fesbudjaton merupakan ajang silaturahmi etnis Jawa Tondano (Jaton) dari berbagai daerah di Indonesia Timur.
“Pada festival ini, empat daerah di Indonesia Timur yaitu Ternate, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Gorontalo datang dan berpartisipasi sekaligus bersilaturahmi,” katanya.
Festival Jaton, kata Syahril, digelar setiap tahun dan berpindah-pindah tempat, seperti di Manado, Kotamobagu dan Gorontalo.
“Pada Festival tahun ini, kami juga menggelar berbagai jenis lomba, yaitu Hadrah tradisional, Hadrah kreasi, Lomba Salawat Jowo, tarian Dana-dana, lomba pidato bahasa jaton dan Dames,” jelas Syahril.
Sementara itu, Bupati Nelson Pomalingo pada pembukaan Fesbudjaton XII mengatakan, etnis Jaton yang mulai ada di Gorontalo yaitu di Desa Yosonegoro pada sekitar tahun 1900an hingga saat ini mulai berkembang hingga ke daerah lain.
“Ini merupakan kekayaan budaya bangsa kita, oleh karena itu perlu dipertahankan,” ujar Nelson Pomalingo.
Ia menjelaskan, dalam membangun Kabupaten Gorontalo ada tiga pilar yaitu ilmu agar proses pembangunan dapat terukur, pilar agama agar proses pembangunan terarah, dan pilar budaya yang merupakan jati diri daerah.
“Oleh karean itu, kami selalu memberikan ruang bagi masyarakat yang ada di daerah, dan beberapa kebijakan yang kami lakukan adalah memberikan ruang dan kesempatan bagi kegiatan kebudayaan, baik Jaton, Gorontalo maupun lainnya,” demikian Nelson Pomalingo, sebagaimana diulas ‘Antara’ yang diolah Tim ‘BENDERRAnews’ dan ‘SOLUSSInews’ untuk ‘Cahayasiang.com’. (Tim)