Jakarta-CS, 1/7/17: Pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo bahwa TNI 100 persen berada di belakang Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan kesatupaduan pemimpin bangsa ini. Pernyataan tersebut juga menjadi senjata ampuh menepis berbagai isu miring yang bertujuan membenturkan satu sama para elite bangsa.
Apa yang diungkapkan Gatot juga melegakan. Tidak bisa dimungkiri, arus informasi yang mengalir deras, ditambah bermunculannya rupa-rupa berita palsu, membuat publik menunggu-nunggu ketegasan posisi TNI.
Ketegangan politik sangat terasa pada tiga bulan terakhir tahun 2016 atau menjelang persiapan Pilkada Serentak. Kelompok masyarakat terkotak-kotak bukan hanya karena aspirasi politik melainkan sudah bercampur dengan sentimen suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Hal ini terjadi karena ada kepentingan yang sengaja menggunakan sentimen SARA, terutama bendera agama, ke dalam politik praktis.
Presiden Jokowi bahkan sampai menyatakan agar masyarakat tidak terjebak mencampuradukkan agama dan politik. Simbol-simbol agama seharusnya tidak digunakan untuk kepentingan politik. Implementasi dari penghayatan setiap individu pada agamanya masing-masing itulah yang boleh mewarnai sikap dan kehendak politik.
Masyarakat tidak akan melupakan upaya Pesiden Jokowi bersafari ke markas Brimob Polri dan ke Mabes TNI, Kostrad dan Kopassus. Safari itu kita maknai sebagai upaya Presiden Jokowi yang tengah menyatukan barisan guna menangkal berbagai skenario terburuk yang digagas oleh kepentingan-kepentingan yang memanfaatkan sentimen agama guna mencari simpati untuk merongrong pemerintahan.
Di antara simpang siur berita begitu kuat di media sosial dan perang opini menggejala di semua lini, muncul isu-isu miring yang menggadang panglima TNI sebagai pemimpin masa depan dikaitkan dengan SARA. Penggalan-penggalan pernyataan Gatot terkait ulama dan umat serta ancaman asing disandingkan dengan sosok Jokowi yang dianggap pro-asing, terutama Republik Rakyat Tiongkok.
November 2016, beredar pesan berantai dan berita di media sosial yang menyebutkan Gatot Nurmantyo akan diganti sebagai Ppanglima TNI. Tertulis juga bahwa Gatot tidak masalah bila diganti. Isu itu makin menguat ketika nama mantan Sesmil Presiden Joko Widodo, yaitu Marsekal Madya Hadi Tjahjanto, disebutkan menggantikan Gatot. Hadi baru saja selesai menjalankan masa tugasnya di Istana Kepresidenan.
Januari lalu muncul rumor panglima TNI ditengarai melakukan kegiatan politik atau seolah berjalan sendiri guna mencari panggung untuk Pilpres 2019. Hal itu bermula dari munculnya berita dari Reuters berjudul Indonesia’s president moves to rein in ‘out of control’ military chief. Disebutkan bahwa Panglima TNI mendapat teguran dari Presiden Jokowi terkait pemutusan sementara hubungan kerja sama di bidang militer dengan Australia. Berita itu terkait sikap TNI menghentikan sementara kerja sama militer dengan Australian Defences Forces (ADF) karena pihak Australia dianggap menghina Indonesia.
Baik, panglima TNI maupun presiden, telah membantah berita-berita yang disebut sebagai hoax tersebut. Namun, tanda tanya sudah telanjur menyeruak dalam alam pikir massa. Karena itu, pernyataan tegas Gatot terkait loyalitas TNI kepada Presiden Jokowi membuka mata publik beserta lawan-lawan politik Jokowi apa yang sebenarnya terjadi. Pernyataan itu paling kurang akan menghentikan spekulasi terkait persaingan terselubung elite bangsa. Selain itu, pernyataan loyalitas TNI menegaskan sosok Gatot sebagai prajurit sejati. Selama ini ia dikenal selalu tampil di depan di saat terjadi peristiwa krusial secara politik maupun sosial. Tampilan itu senyatanya untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan politik pribadi.
Dalam sambutannya Gatot menyinggung bahwa saat ini ada riuh atau gaduh, termasuk upaya menarik-narik TNI. Gatot menyatakan, hal itu tidak perlu dikhawatirkan.
Pernyataan loyalitas TNI ini menjadi lengkap manakala Gatot juga memastikan bahwa TNI mendukung upaya penanggulangan paham radikal di masyarakat. Harus diakui bahwa paham radikal yang menggejala belakangan ini saling kait-mengait dengan upaya-upaya memecah belah bangsa melalui isu agama.
Bahkan, di Islamic Center Tarakan, Kalimantan Utara, Minggu (18/6), Gatot dengan tegas menyatakan ada yang mencoba memecah belah bangsa dan mencaci maki dengan berpakaian ulama. Model seperti ini pasti bukan ulama. Oleh karenanya, Gatot tegas menyatakan jangan mengikuti sosok seperti ini. Kendati orang itu merupakan kiai atau ulama, bila menginginkan adanya perpecahan di Indonesia berarti orang itu bukan orang Islam asal Indonesia. Inilah sikap tegas TNI!
*) Disadur dari tajuk Suara Pembaruan