Yogyakarta-CS, 18/7/17: Tercatat lebih seribu dosen dan guru besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta menandatangani deklarasi penolakan legalitas Pansus Hak Angket KPK oleh DPR RI.
Terkait itu, sejumlah alumni Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), meminta para dosen serta guru besar di Unsrat dapat segera menyusul mengambil langkah yang sama.
“Ini soal bersih-bersih dari tabiat buruk KKN yang juga sempat menjalar di lingkup kampus-kampus negeri, termasuk Unsrat. Karenanya, mari kita canangkan untuk menolak Hak Angket KPK di DPR. Kita terus perkuat KPK dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya (Polri dan Kejaksaan) agar gencar melakukan aksi-aksi bersih KKN di republik ini,” tandas Ketua Harian Ikatan Alumni Universitas Sam Ratulangi (IKA Unsrat) Jabodetabek Plus, Hencky Luntungan, di Jakarta, Selasa (18/7/17).
Dinilainya, langkah DPR RI melakukan hak angket tidak sesuai prosedur hukum. “Pasalnya, hak angket tidak tepat ditujukan bagi KPK,” demikian Hencky dan Ketua IKA Unsrat Jabodetabek Plus, Jeffrey Rawis.
Hal senada disuarakan Wakil Sekretaris IKA Unsrat Jabodetabek Plus, Nelson Shinta, yang menilai, langkah perguruan tinggi se-Indonesia sangat penting untuk memberikan tekanan moral serta psikologis kepada para anggota dewan, agar sadar sesadar-sadarnya dengan tindakannya.
“Kita perlu melakukan gerakan moral itu secara konkret, dan berharap banyak, kiranya para dosen dan guru besar di Unsrat pun tampil di garis terdepan dalam keberpihakannya kepada lembaga-lembaga penegak hukum pemberantas korupsi,” tambah Irwan Lalegit, juga salah satu Wakil Sekretaris IKA Unsrat Jabodetabek Plus.
Cacat formal
Sementara itu, dari Yogyakarta dilaporkan, seribu lebih dosen dan guru besar UGM menandatangani deklarasi penolakan legalitas Pansus hak angket KPK di Balairung, Gedung Pusat UGM, Senin (17/7/17) kemarin.
Para dosen UGM itu menyerukan bahwa langkah yang diambil oleh DPR cacat formal prosedural.
Dipimpin oleh Dekan Fakultas Psikologi UGM, Prof Faturochman, para dosen menyatakan deklarasi penolakan hak angket KPK, sekaligus mendeklarasikan UGM berintegritas.
“Kami warga UGM mendesak DPR untuk menghentikan hak angket KPK karena bertentangan dengan konstitusi dan undang-undang, serta mendorong Mahkamah Konstitusi untuk memprioritaskan peradilan terhadap judicial review atas pasal tentang hak angket tersebut,” tegas Faturochman.
Disebutnya, saat ini sudah ada 1.027 tanda-tangan dosen UGM dan akan terus bertambah.
Ditambahkan Dekan Fakultas Hukum UGM Prof Dr Sigit Riyanto, “UGM Berintegritas” merupakan wujud keberpihakan warga UGM, dengan menggunakan keilmuannya, menegakkan nilai-nilai integritas yang saat ini sedang dikoyak-koyak.
Tujuan gerakan ini ialah upaya untuk meminimalisasi beban atau biaya sosial akibat korupsi kepada rakyat Indonesia.
Sigit menuturkan, para dosen UGM menginisiasi gerakan moral “UGM Berintegritas” sebagai wujud komitmen warga dan alumni UGM mendukung gerakan anti korupsi, salah satunya dengan penggalangan dukungan warga dan alumni terhadap petisi menolak Pansus Hak Angket KPK dilakukan. Sikap ini, ujarnya, didasarkan pada hasil kajian akademik oleh para pakar di UGM yang berkompeten di bidangnya terkait dengan proses Pansus Hak Angket KPK.
“Sebagai komunitas keilmuan, kami warga UGM berkewajiban memberikan sumbangan pemikiran mendukung setiap upaya penindakan dan pencegahan korupsi melalui kajian akademik yang dapat dipertanggung jawabkan,” imbuhnya.
Sedang guru besar Fakultas Hukum UGM Prof Dr Maria SW Sumardjono mengatakan, pengesahan hak angket oleh DPR tidak sesuai prosedur hukum, karena hak angket tidak tepat ditujukan bagi KPK
“Siapa yang dibidik hak angket oleh DPR ini tidak tepat, karena KPK adalah lembaga negara yang independen, bukan eksekutif. Sehingga kesimpulan kajian UGM menyebut, hak angket ini cacat format prosedural,” ujarnya.
Dalam hasil kajian yang dilakukan oleh tim UGM terkait dengan Pansus Hak Angket KPK disebutkan bahwa hak angket adalah hak konstitusional yang dimiliki parlemen sebagai bentuk pengawasan parlemen, dan konstitusi Indonesia mengatur hak angket sebagai hak konstitusional DPR untuk menyelidiki keterangan pemerintah (eksekutif), yakni, Presiden, Wakil Presiden, dan/atau para menteri serta para pembantunya yang lain—baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri. Karena itu, hak angket terhadap selain pemerintah (eksekutif) bertentangan dengan konstitusi.
Usai deklarasi, Kepala Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar menyebut, hasil kajian dan bukti dukungan akan diserahkan kepada KPK pada Kamis (20/7/17) mendatang. Demikian ‘Suara Pembaruan’ memberitakan. (CS-SP/BS/jr)