Jakarta, 10/6/19 (CS): Memindahkan ibukota suatu negara, pasti dilatarbelakangi oleh sebuah visi besar bagi kejayaan bangsa tersebut. Sejumlah negara besar telah melakukannya, seperti Amerika Serikat (dari New York ke Washington), Jepang (dari Kyoto ke Tokyo), juga Australia, bahkan tetangga Malaysia.
Bung Karno, selaku Presiden Pertama RI, telah mencanangkan sejak awal dekade 1960-an pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Tak tanggung-tanggung, Bung Karno malah telah menugaskan tim arsitek nasional termasuk sejumlah insinyur asing, di antaranya dari Uni Soviet, untuk mendesain Kota Palangkaraya.
Kini, di era Presiden Joko Widodo, rencana itu semakin dikonkretkan.
Pihak Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) mulai merinci anggaran biaya pemindahan ibukota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa.
Diprediksi total biayanya mencapai Rp 466 triliun.
Empat komponen
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menjabarkan estimasi cost project dan pembiayaan fisik ibukota negara terbagi atas empat komponen, yakni fungsi utama, fungsi pendukung, fungsi penunjang, dan pengadaan lahan.
Pertama, fungsi utama seperti gedung legislatif, eksekutif, yudikatif sebesar Rp32,7 triliun, diestimasikan menggunakan Skema KPBU Availability Payment. Kecuali pembangunan Istana Negara dan Markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) yang menggunakan APBN, Termasuk PNBP-Earmark/Manajemen Aset.
“APBN yang dibutuhkan itu kira-kira Rp30,6 triliun, dari Rp30,6 triliun pun itu bukan APBN satu tahun, ini lima tahun-lah misalkan. Berarti kalau dibagi lima itu, Rp6 triliun butuhnya. APBN kita yang diajukan untuk tahun 2020 hampir Rp2.500 triliun, jadi ini maka Rp6 triliun setahun, dan Rp6 triliun itu pun tidak 100 persen mengambil dari rupiah murni atau tidak mengganggu prioritas kementerian lembaga lain,” kata Bambang di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, media Mei 2019 lalu.
Kedua, fungsi pendukung seperti Rumah Dinas, Sarana Kesehatan, Lembaga Pemasyarakatan juga menggunakan Skema KPBU Availability Payment, sementara Sarana Pendidikan (Perguruan Tinggi) dan sarana kesehatan sebesar Rp265,1 triliun. Ini dapat bekerjasama dengan swasta dengan menggunakan skema kerja sama pemanfaatan.
Ketiga, fungsi penunjang yang terdiri atas sarana dan prasarana seperti jalan, listrik, telekomunikasi, air minum, drainase, pengolah limbah, hingga sarana olahraga akan memakam biaya sebesar Rp160,2 triliun dengan menggunakan Skema KPBU Availability Payment, sementara penyediaan ruang terbuka hijau menggunakan APBN Termasuk PNBP-Earmark/Manajemen Aset.
Terakhir, pengadaan lahan sebesar Rp8 triliun juga menggunakan APBN Termasuk PNBP-Earmark/Manajemen Aset.
“Dengan demikian, total estimasi pembiayaan fisik IKN untuk ‘Skenario 1’ yakni memindahkan seluruh 1,5 juta ASN beserta keluarganya dan pelaku ekonomi adalah Rp466 triliun. Kita akan mencari sumber spesifik dari APBN yaitu melalui PNBP-Earmark dan Manajemen Aset,” jelasnya, seperti juga dilansir Suara.com.
Selain itu, ada pula skenario kedua, yaitu memindahkan 870 ribu jiwa penduduk yang terdiri atas ASN beserta keluarga dan pelaku ekonomi melalui skema right-sizing dengan estimasi biaya Rp323 triliun.
Sementara mengenai lokasi calon ibukota baru, Bappenas hingga kini masih belum bisa mengumumkan. Karena belum diputuskan oleh Presiden Joko Widodo.
Namun, Bappenas menargetkan kajian teknis pemindahan ibukota akan rampung di akhir 2019, dilanjutkan dengan konsultasi ke DPR untuk membahas produk hukum pemindahan ibukota hingga awal 2020.
Selanjutnya, 2020 hingga 2022 ialah penyiapan lahan, termasuk memastikan status tanah yang akan dijadikan lokasi infrastruktur dasar, dan lama pembangunan ini diprediksi akan memakan waktu sekitar tiga tahun hingga 2024. (CS-SC/jr)