Jakarta, 11/9/19 (CS): Hari Rabu (11/9/19) ini, Presiden RI Joko Widodo mulai mrmpelajari daftar inventarisasi masalah RUU KPK yang sudah diterimanya.
Dilaporkan, Presiden Jokowi telah menerima daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasran Korupsi (KPK) tersebut, dan bakal mempelajari terlebih dahulu DIM tersebut.
“Baru saya terima DIM-nya tadi. Baru saya pelajari hari ini. Pelajari dulu. Secepat-cepatnya. Kita ini baru melihat DIM-nya dulu,” kata Presiden di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta.
Terkait surat presiden (surpres), Presiden langsung menyampaikan apabila akan diserahkan kepada DPR. “Nanti kalau Surpres kita kirim, besok saya sampaikan. Nanti materi-materi apa yang perlu direvisi,” ujar Presiden.
Presiden belum dapat berkomentar lebih jauh terkait poin-poin krusial dari revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002 tentang KPK tersebut. Meski begitu, Presiden menginginkan agar KPK tidak dibatasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
“Saya ingin melihat dulu DIM-nya. Jangan sampai ada pembatasan-pembatasan yang tidak perlu. Sehingga independensi KPK menjadi terganggu. Intinya ke sana, maka saya mau lihat dulu, nanti satu per satu kita pelajari, putusin, dan saya sampaikan,” ujar Presiden.
Revisi perkuat kelembagaan
Pro kontra revisi Undang-Undang nomor 20 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang masih terus bergulir. KPK dan sejumlah kalangan menolak revisi lantaran terdapat sejumlah poin dalam draf RUU yang dinilai akan melemahkan bahkan melumpuhkan Lembaga Antikorupsi.
Namun, sebagian kalangan lain justru menilai revisi UU bakal memperkuat kelembagaan KPK dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi di Indonesia.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji menyatakan, revisi seharusnya dimaknai sebagai penguatan kelembagaan KPK.
Terutama menyangkut sistem dan manajerial internal kelembagaan KPK.
“Prinsipnya, revisi haruslah dimaknai bagi penguatan kelembagaan penegak hukum KPK, khususnya terhadap sistem dan managerial internal kelembagaan yang terkait, antara lain permasalahan sistem managerial yang menimbulkan kotak-kotak kelas dan klaster yang tidak sehat,” kata Indriyanto, kepada Suara Pembaruan, Selasa (10/9/19) kemarin.
Berbasis keadilan restoratif
Indriyanto mengatakan, revisi UU KPK menggunakan pendekatan berbasis pada keadilan restoratif yang memiliki filosofi rehabilitasi sistem pemidanaan.
Bukan deterrent efect atau efek jera yang justru menimbulkan ketidakpastian optimalisasi pengembalian keuangan negara.
Pendekatan restoratif telah diterapkan di Inggris dengan mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang mengutamakan rehabilitasi bagi optimalisasi pengembalian keuangan negara, tanpa mengandalkan model penindakan.
Dikatakan Indriyanto, pendekatan keadilan restoratif inipun juga menyentuh perbaikan sistem pengawasan terhadap KPK sebagai auxiliary state body yang memiliki kewenangan dan format sebagai extraordinary body.
Dewan Pengawas
Indriyanto, yang juga mantan Pelaksana Tugas Pimpinan KPK, menekankan, Dewan Pengawas KPK harus bersifat independen dan berada di luar struktur kelembagaan KPK. Dewan Pengawas ini nantinya memiliki kewenangan mengawasi dugaan-dugaan penyimpangan tingkah laku atau behavior deviations, perbuatan, ucapan Komisioner dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
“Dalam pemahaman sistem demokrasi liberal yang dinamis, suatu auxiliary state body terikat pada sistem pengawasan independen dengan check and balances-nya. Karenanya keberadaan Dewan Pengawas yang berada di luar struktur kelembagaan KPK adalah sebagai suatu kewajaran saja dan tidak perlu dikhawatirkan, apalagi seolah terkesan stigma pelemahan kelembagaan KPK,” katanya.

Indriyanto juga menyoroti poin lainnya dalam draf RUU KPK, seperti proses penghentian penyidikan atau biasa disebut SP-3. Indriyanto mengatakan, kewenangan mengeluarkan SP-3 ini bertujuan untuk memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan. SP3 ini bisa diterapkan dalam kondisi yang limitatif dan eksepsional sifatnya.
“Bayangkan saja, misalnya, status tersangka menjadi label stigma bertahun-tahun atau kondisi tersangka saat tahap penyidikan yang tiba-tiba sakit keras dan dinyatakan unfit to stand trial secara permanen, dan tanpa kejelasan status ini jelas menyimpangi asas kepastian hukum dan keadilan. Karena itu dalam kondisi limitatif dan eksepsional sifatnya, diperlukan produk hukum bagi penghentian atas proses upaya paksa ini,” papar Prof Dr Indriyanto Seno Adji. (CS-SP/BS/jr)