CAHAYASIANG.COM, Jakarta
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh, yang menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) saat UU ITE disahkan ikut buka suara terkait maraknya permintaan revisi UU ITE.
Nuh mengungkapkan, UU ITE yang disusun pada 2008 awalnya memang tidak diharapkan berfungsi seperti saat ini. “Saya mikir kok rasanya dulu tidak begini, dulu kita ingin memberi kepastian hukum transaksi teknologi tapi kok tiba-tiba urusan caci maki,” ujar M. Nuh, Rabu (25/2).
Nuh menyebut UU ITE kini menjadi ganjalan bagi demokrasi di Indonesia. Tidak saja di lapisan masyarakat, wartawan pun banyak dirugikan karena dilaporkan ke pihak berwajib dengan merujuk UU ITE.
Hal itu disampaikan Nuh saat menjadi pembicara yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat dengan tema Menyikapi Perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Kantor Pusat PWI, Jakarta.
Muh. Nuh melanjutkan, awalnya ide dari ITE untuk memberikan payung transaksi-transaksi ekonomi, dan perkembangan informasi digital Indonesia.
“Dulu itu kan tanda tangan harus tanda tangan basah, yang punya legal standing diteken pakai meterai, cap stempel dan lainnya. Faks juga belum punya dasar, sekarang sudah bisa dijadikan produk hukum,” imbuhnya.
Nuh menambahkan melalui Surat Edaran Kapolri mengenai Penanganan Perkara UU ITE belum cukup untuk bisa melindungi masyarakat.
“Saya coba pahami begitu Kapolri keluarkan aturan kalau sudah minta maaf tidak perlu dipenjara, tapi penting agar UU ITE ini dibuat turunan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri (Permen) yang memang berikan perlindungan rasa keadilan pada masyarakat,” ujarnya.
“Tapi agar nanti kalau ganti presiden dan Kapolri tetap memberi rasa keadilan maka perlu revisi UU ITE, ” tambah Nuh.
Revisi UU ITE ini ikut disinggung Presiden Jokowi saat meminta masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritiknya. Jokowi menyebut jika UU ITE tidak dapat memberikan rasa keadilan, ia bakal mengajukan ke DPR untuk merevisinya. Khususnya bagi pasal-pasal karet yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran.
Sementara, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Pusat, Atal S Depari mengatakan UU ITE seharusnya memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik dan menciptakan kesejahteraan rakyat.
Hal itu disampaikan Atal saat memberikan sambutan pada acara Webinar bertema “Menyikapi Perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)” yang digelar PWI Pusat dengan di Kantor Pusat PWI, Jakarta.
“Bukan justru menakut-nakuti warga yang menyampaikan pendapat berbeda dan kritis. Sedangkan ceck and balance merupakan kehidupan demokrasi yang baik,” ujar Atal dalam sambutannya pada acara Webinar yang dimoderatori Wina Armada ini.
Menurutnya, ceck and balance hanya bisa terjadi jika kebebasan berbicara, berpendapat, berpikir kritis serta kemerdekaan pers tetap berjalan secara bebas dan bertanggung jawab.
“Karena di sini lah hulunya. UU ITE harus direvisi, terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” tegas Atal S. Depari.
Dalam diskusi yang dihadiri 316 peserta secara virtual dan puluhan peserta di Kantor Pusat PWI ini, selain Ketua Dewan Pers, M. Nuh dan Ketum PWI, Atal S. Depari, hadir pula sebagai narasumber Menkopolhukam Mahfud MD, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin, dan Pakar Hukum Abdul Fikar Hadjar. (*)